30
May
09

SUMATERA BARAT, Ranah yang Selalu Berubah

Dicapture dari Harian Kompas, 23 Mei 2009 yang ditulis oleh: Ignatius Kristanto dan Yoga Prasetyo

Sumatera Barat Kultur politk masyarakat di ranah Minang tergolong unik. Meskipun karakteristik warganya termasuk homogen dari latar belakang suku dan agamanya, dari sisi pilihan politiknya selalu berubah. Hasil pemilu legislatif lalu menunjukkan hal itu. Partai Demokrat berhasil menguasai provinsi ini yang pada pemilu-pemilu sebelumnya menjadi basis peolehan kursi Golkar.

     Perubahan pilihan politik ini dapat dilihat dari hasil pemilu legislatif selama ini. Jika pada Pemilu 1955, wilayah ini dikuasai oleh partai Islam, Masyumi, pada saat rezim penguasa berganti, partai yang dominan pun berganti. Tercatat, tanah Minang dikuasai Golkar yang berkuasa dari era Orde Baru, era reformasi, hingga Pemilu 2004.

     Naiknya popularitas Partai Demokrat pada Pemilu 2009 mengubah dominasi itu. Partai Demokrat mampu meraih kemenangan dengan 27 persen suara. Bahkan, partai yang mengusung Susilo Bambang Yudhoyono untuk dicalonkan kembali sebagai presiden ini mampu menguasai 10 dari 19 kabupaten dan kota yang ada.

     Jika dicermati di tingkat kabupaten dan kota, dinamika perubahan ternyata lebih kencang terjadi. Bahkan, tak jarang ada suatu kabupaten yang setiap kali pemilu pasca era Orde Baru selalu berubah pemenangnya, terutama di kabupaten dan kota yang masuk dalam kawasan pesisir. Contohnya adalah Kabupaten Agam yang pada Pemilu 1999 dimenangi Partai Amanat Nasional, pada Pemilu 2004 pemenangnya diraih oleh Partai Golkar dan kini berubah lagi, direbut oleh Partai Demokrat.

     Perubahan perilaku pilihan politik masyarakat Minang tak lepas dari kultur politik yang berkembang di sana. Ada tradisi sosial politik yang berkembang sejak lama yang dinamakan kelarasan, lareh, atau kesepakatan. Ada dua aliran politik utama yang berlawanan, tetapi saling memengaruhi dan berkambang di wilayah ini, yakni aliran aristokrasi dan aliran demokratis. Aliran pertama memegang teguh prinsip pengambilan keputusan secara hierarkis dan melekat pada lareh Koto Piliang. Adapun aliran kedua berprinsip egaliter, mengambil keputusan lewat musyawarah dan sangat dekat dengan lareh Bodi Chaniago.

     Uniknya, meskipun berseberangan, kedua lareh tersebut tidak menimbulkan disharmoni dalam kehidupan sosial politik sehari-hari. Sebaliknya, masyarakat Minang justru memiliki nilai-nilai yang imagemampu menyintesiskan keduanya sehingga muncul harmoni. Pertemuan dua aliran inilah yang akhirya melahirkan masyarakat dinamis, terus bergerak, berubah rasional, dan kritis, Bagi mereka, perubahan sebuah peristiwa merupakan hal yang biasa dan wajar-wajar saja.

     Menurut pandangan pengajar antropologi Universitas Andalas, Prof Dr Nursyirwan Effendi, afiliasi orang Minang ke parpol relatif lemah. Pemilihan Minang sangat rasional. Bahkan, di nagari, dalam perkembangannya, parpol dilarang masuk ke nagari. Langkah ini merupakan kesepakatan etika untuk menjaga keutuhan kearifan budaya. Inilah agaknya yang membuat wilayah Minang selalu berubah karena tidak ada ikatan ideologis yang kuat untuk memilih partai tertentu, di mana pemenang dapat berubah di setiap pemilihan umum yang digelar.

Berpendidikan tinggi

    Dari hasil simulasi penghitungan yang dilakukan Litbang Kompas di kedua daerah pemilihan, besar kemungkinan Partai Demokrat meraih enam kursi DPR dari provinsi ini. Selain itu, calon dari partai ini juga menempati urutan pertama dalam perolehan suara terbanyaknya, yaitu Dasrul Djabar dengan meraih 83.671 suara. Anggota DPR periode 2004-2009 yang terpilih kembali ini mendapat banyak dukungan dari Kota Padang.

    Sebaliknya, Partai Golkar yang kali ini menduduki urutan kedua, meraih tiga kursi DPR. Nama-nama yang lolos pun sangat akrab di media massa, yakni Jeffrie Geovanie, Azwir Dainy Tara, dan pengacara, Nudirman Munir. Dari mereka bertiga, Jeffrie meraih suara paling banyak, yakni 66.845 suara.

    Perubahan partai pemenang ternyata juga berpengaruh pada perubahan latar belakang demografi wakil rakyat yang bakal menyemarakkan Senayan. Hal ini bisa dilihat pada latar pendidikan dan usia anggota DPR hasil pemilu legislatif kali ini dibandingkan dengan tahun 2004 yang terpilih dari provinsi ini.

    Dari latar pendidikan, anggota Dewan kali ini memiliki latar belakang pendidikan lebih tinggi dibandingkan periode yang lalu. Dari 15 wakil rakyat, delapan orang berpendidikan pascasarjana. Sementara itu, wakil rakyat periode sebelumnya yang berpendidikan setingkat ini hanya enam orang.

    Latar pendidikan setingkat master dan doktor ini ternyata juga tidak dinominasi partai tertentu, tetapi mereka merata di semua partai. Baik PAN, Golkar, PPP, PKS, maupun Demokrat mempunyai wakil rakyat yang lolos dengan latar belakang pendidikan di atas sarjana. Ini menunjukkan bahwa julukan ranah Minang sebagai pencetak intelektual ternyata masih melekat hingga kini.

    Perubahan juga terjadi dari sisi usia wakil yang lolos. Jika pada periode sebelumnya proporsi wakil rakyat dari Sumatera Barat yang berusia di bawah 59 tahun sekitar 71 persen, kali ini proporsinya meningkat menjadi 80 persen. Artinya, latar belakang anggota Dewan yang tergolong usia produktif untuk periode 2009-2014 diperkirakan bakal bertambah.

    Wakil rakyat yang lebih muda dan lebih tinggi pendidikannya kini dipunyai oleh Sumatera Barat. Ciri kultur politik masyarakat yang lekat dengan perubahan ini ternyata telah mampu menentukan kualitas para wakil yang dipilihnya, yang berbeda dengan anggota DPR periode sebelumnya.


0 Responses to “SUMATERA BARAT, Ranah yang Selalu Berubah”



  1. Leave a Comment

Leave a comment


Jumlah Kunjungan

  • 129,728 visit



free counters

Hits

Technorati

Add to Technorati Favorites

Ronny's Shoot